
IPB Hadirkan Inovasi Bidang Ketahanan Pangan dan Lingkungan / Foto: Dimas Yuga Pratama
Bogor, tvrijakartanews - Dua inovasi di bidang pangan dan lingkungan resmi diluncurkan oleh IPB University.
Keduanya adalah varietas padi sawah toleran salinitas IPB 11S Bepe dan alat pemantau kualitas udara real time Air Quality Monitoring System (AQIMOS), yang diperkenalkan dalam acara Launching Inovasi 2025 di Kampus IPB Dramaga, Bogor, Selasa, 22 Juli 2025.
Rektor IPB University, Prof Arif Satria menuturkan bahwa, Inovasi tersebut di hadirkan dengan tujuan guna menjawab tantangan pada bidang ketahanan pangan dan kualitas udara di Indonesia.
Dalam sektor pangan, padi IPB 11S Bepe dirancang untuk mampu bertahan di lahan sawah dengan kadar garam tinggi, termasuk wilayah pesisir yang sering mengalami gagal panen akibat intrusi air laut.
"Varietas ini memiliki produktivitas rata-rata 7,7 ton per hektare dengan potensi hasil hingga 11,5 ton per hektare dan umur panen genjah hanya 111 hari setelah tanam," ujar Prof Arif kepada wartawan.
Sementara itu, guru besar pemuliaan tanaman dari Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB University sekaligus ketua tim pengembang padi IPB 11S Bepe, Prof Bambang Sapta Purwoko menyebut, varietas ini memiliki ketahanan terhadap hama dan penuakit terutama wereng batang coklat biotipe 1, 2, dan 3.
Inovasi ini juga tahan penyakit hawar daun bakteri patotipe III dan tahan patotipe IV saat fase vegetatif, tahan patotipe III dan tahan patotipe IV saat fase generatif. Serta tahan penyakit blas (ras 013) dan agak tahan terhadap 3 ras blas, yaitu ras 041, 053 dan 373.

“Dari segi kualitas gabah dan berasnya, IPB 11S Bepe memiliki rendemen beras pecah kulit 70 persen, rendemen beras giling 63 persen, dan rendemen beras kepala 80 persen. Tekstur nasinya pera dengan kadar amilosa 25 persen,” ujarnya.
Prof Bambang menjelaskan, latar belakang pengembangan varietas IPB 11S Bepe adalag toleran terhadap salinitas (EC 12 dS/m).
Sampai saat ini, ia mengungkap, produksi padi nasional masih terfokus pada lahan sawah irigasi, terutama di Pulau Jawa dan Bali. Padahal, tantangan di lahan sawah bertambah dengan makin luasnya konversi lahan serta perubahan iklim.
“Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki garis pantai yang cukup panjang. Sebagian besar lahan pantai itu digunakan untuk produksi padi. Karena itu, upaya mengembangkan pertanaman padi bisa dilakukan ke lahan-lahan marginal yang potensial untuk produksi pangan,” terangnya.
Masalah salinitas mulai dihadapi petani dekat pantai sehubungan terjadinya intrusi air laut ke pesawahan atau lahan pertanian lainnya akibat peningkatan permukaan air laut dan perubahan iklim. Salinitas juga terjadi di daerah-daerah dengan curah hujan rendah dan saat musim kemarau.
“Varietas ini kami rancang untuk membantu petani memanfaatkan sekitar satu juta hektare lahan salin di Indonesia," pungkasnya.
Sementara, dalam sektor lingkungan, AQIMOS hadir untuk meningkatkan efisiensi pemantauan kualitas udara. Sistem ini mampu menyajikan hasil Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU) hanya dalam 1,6 menit, jauh lebih cepat dibandingkan metode konvensional yang memerlukan waktu hingga 24 jam.
“Alat ini buatan anak bangsa dengan harga yang lebih terjangkau dari produk impor. Data hasil pemantauan bisa diakses lewat ponsel, laptop, maupun layar monitor sehingga memudahkan pemantauan di berbagai lokasi,” jelas Prof Arief Sabdo Yuwono, guru besar Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan IPB University yang memimpin tim pengembang AQIMOS.
Kedua inovasi tersebut merupakan hasil riset dosen dan peneliti IPB University yang digagas untuk menjawab masalah nyata di masyarakat.
Kehadirannya diharapkan dapat meningkatkan produktivitas lahan pertanian marginal sekaligus memperluas pemantauan kualitas udara secara efisien dan mandiri.
Rencananya, kedua inovasi ini juga akan direkomendasikan ke kementerian terkait agar dapat diadopsi sebagai bagian dari solusi nasional.